Dalêm Kêtut Kåûóa Kapakisan, 1352 – 1380
Setelah raja
Bedhahulu atau Úrì Tapolung wafat dikalahkan oleh pasukan Majapahit, pulau Bali
menjadi sunyi sepi, kacau balau, masing-masing mempertahankan pendapatnya
sendiri-sendiri, tidak mau menuruti sesamanya.
Karena itu Gajah Mada
berunding dengan Mpu Dwijàkûara beserta kerabatnya, keturunan Mpu Sanakpitu,
yang diperintahkan pergi ke pulau Bali untuk memelihara pura-pura dan
melaksanakan upacara-upacara yajña pada sadkahyangan dan upacara pulau Bali,
antara lain di Bêsakih, Gelgel, Silayukti, Lêmpuyang dan di pura-pura pada
masing-masing desa.
Untuk calon raja
Bali, Mahapatih Gajah Mada memohon kepada guru penasehatnya, Dhanghyang
Kapakisan, untuk mengangkat puteranya menjadi raja di pulau Bali. Permohonan
Patih Gajah Mada itu dikabulkannya dan atas persetujuan raja Majapahit, ditetapkan
bahwa empat orang cucu Dhanghyang Kapakisan, putera Úrì Kåûóa Wangbang
Kapakisan, akan diangkat menjadi raja di daerah-daerah kekuasaan Majapahit,
termasuk Bali.
Sementara itu di
Bali, Patih Ulung berunding dengan semua kerabatnya, keturunan Mpu sanakpitu,
tentang pulau Bali yang telah lama belum ada yang memimpin sebagai raja, dan
juga mengenai janji Patih Gajah Mada untuk mengangkat seorang raja keturunan
Majapahit di pulau Bali.
Dalam perundingan itu
disepakati bahwa Patih Ulung diutus ke Majapahit bersama saudara-saudaranya,
yaitu Kyayi Pamacêkan, Kyayi Kêpasêkan, dan Kyayi Padhang Subhadra untuk
memohon agar di Bali segera diangkat seorang raja. Permohonan Patih Ulung itu
dikabulkan oleh raja Majapahit dan Patih Gajah Mada, dan rombongan Patih Ulung
diperintahkan untuk kembali ke Bali.
Pada hari yang baik
saat purnama kapat, Rakryan Patih Gajah Mada melantik enam orang adipati. Empat
dari keenam adipati itu adalah putera-puteri Úrì Kåûóa Wangbang Kapakisan, cucu
daripada Dhanghyang Kapakisan, yaitu yang sulung dijadikan adipati di
Blambangan, yang kedua di Pasuruhan, yang ketiga seorang puteri menjadi ratu di
pulau Sumbawa dan yang bungsu ditempatkan di pulau Bali.
Putera bungsu yang
diangkat sebagai raja Bali ialah Úrì Aji Kudawandhira bergelar Dalêm Kêtut
Kåûóa Kapakisan, pada tahun 1352. Selanjutnya Úrì Dalêm berkedudukan di
Samprangan (daerah Gianyar) dan patihnya Rakryan Apatih Arya Kapakisan dari
Kadiri, cucu Úrì Jayasaba, keturunan Raja Úrì Dharmawangúa, berkedudukan di
Nyuhaya, sehingga terkenal dengan sebutan I Gusti Nyuhaya (Klapodhyana atau
Kebontubuh).
Para menteri yang
semuanya berasal dari Majapahit, diberikan tempat kedudukan masingmasing, yaitu
Arya Kutawaringin di Klungkung, Arya Kêncêng di Tabanan, Arya Bêlog di
Kabakaba, Arya Dalancang di Kapal, Arya Bêlêntong di Pacung, Arya Sêntong di
Carangsari, Arya Kanuruhan di Tangaks, Kryan Punta di Mambal, Arya Jrudeh di
Tamukti, Kryan Tumênggung di Patêmon, Arya Dhêmung Wangbang Kadiri di
Kåtalangu, Arya Sura Wangbang Lasêm di Sukahêt, Arya Wangbang Mataram tidak
menetap disatu tempat boleh dimana saja, Arya Melel Cêngkrong di Jêmbrana, Arya
Pamacêkan di Bondalêm, Arya Gajah Para dan adiknya Arya Gêtas di Toyaanyar.
Demikainlah awal mulanya atas perintah dan wewenang Patih Gajah Mada, Patih
Majapahit.
Setelah keadaan pulau
Bali aman, Dalêm Kêtut Kåûóa Kapakisan bermaksud memperbaiki
kahyangan-kahyangan di Bali, maka Dalêm memanggil pemimpin-pemimpin Pasêk agar
menghadap ke Samprangan.
Para pemimpin pasêk
itu diberi tugas memelihara dan menyelenggarakan upacara-upacara dewayajña di
sad kahyangan, di Kahyangan tiga dan di pura-pura lainnya.
Pada tahun 1380 Dalêm
Kêtut Kåûóa Kapakisan wafat, setelah beberapa waktu lamanya memerintah di Bali.
Kemudian yang diangkat untuk menggantikannya sebagai raja Bali adalah puteranya
yang bungsu, yang suka mêtêtajen (menyabung ayam), yang terkenal dengna
panggilan Ida I Dewa Kêtut Angulêsir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar