Evolusi Jìwa (Pengantar)
Jìwa atau jiwa secara umum dianggap sebagai sesuatu materi halus
yang dapat berubah sesuai dengan kondisi lingkungan yang ditempatinya; bahkan
juga dapat sakit atau pun musnah. Dalam kehidupan material sehari-hari kita
hampir-hampir tak pernah merenungkan keberadaannya di alam semesta, dalam
segala hal yang dapat kita saksikan di sekeliling kita.
Kalau kita tengok sejarah perkembangan planet bumi yang kita
diami ini, maka kita akan dapat mengetahui evolusi ciptaan yang berkembang
selama jutaan tahun manusia, demikian pula halnya dengan perkembangan jìwa yang
mendiami planet-planet lain dalam tata surya kita ini, bahkan juga pada
miljardan galaksi lain di alam semesta raya ini. Beberapa spesies makhluk
menghilang dan beberapa spesies baru bermunculan yang menandakan terjadinya evolusi
makhluk baru yang sebelumnya tak dikenal.
Dalam bidang jìwani, faktor waktu ruang dan penyebab, semuanya
itu tidak berarti sama sekali; bahkan dalam bidang materi hal itu hanyalah
bersifat relatif saja. Demikian pula pada masing-masing planet atau galaksi
memiliki ukuran waktu, ruang dan penyebab yang berbeda-beda sesuai dengan
komposisi materi atau unsur pembentuknya yang paling dominan. Badan-badan fisik
yang dikenakan sang jìwa dalam menjalani evolusinya juga tergantung pada unsur
utama pembentuk planet atau galaksinya.
Dengan demikian, kalau kita berbicara masalah evolusi jìwa secara
jìwani, sebenarnya kita tak dapat mengatakan apa-apa, karena segala penyifatan
dan pembahasan yang menyangkut masalah jìwa, sama saja dengan membatasi
ketakterbatasan jìwa itu sendiri pada tingkatan yang lebih rendah; bahkan Weda
sendiri tak mampu melukiskannya dengan kata-kata, karena ia tak terlukiskan,
tak tergambarkan, tak ternyatakan, tak terpikirkan dan lain sebagainya, yang
secara populer dinyatakan dengan istilah neti-neti -
bukan ini bukan ini.
Tetapi, demi untuk dapat memahami melalui pendekatan
jìwani, maka dalam pembahasan ini, segala permasalahannya adalah bersifat
relatif saja, sesuai dengan visi yang dipergunakan dalam cara memandangnya.
Untuk itu, dalam upaya untuk memahami permasalahan yang diketengahkan dalam
pembahasan ini, diperlukan dasar-dasar pemahaman yang kritis, bukan dasar
pemahaman dogmatis yang akan banyak menimbulkan pertengkaran yang tiada guna.
Sebagian besar umat manusia dipermukaan bumi ini dalam menjalani
kehidupannya berusaha keras untuk tetap dapat mempertahankan kelangsungan
hidup, bahkan berusaha untuk dapat memperpanjang usia kehidupannya dengan
berbagai macam cara. Mereka sangat ngeri membayangkan datangnya kematian yang
mengakhiri kehidupan mereka, dan sebagian besar menganggap bahwa kematian
merupakan akhir dari segala-galanya. Sebagian besar dari mereka mungkin juga
belum pernah membayangkan asal keberadaan mereka di dunia ini. Yang mereka
pahami hanya bahwa mereka diciptakan oleh Tuhan, dan nasib mereka ditentukan
oleh-Nya, titik.
Bahkan mereka juga tidak
perduli kemana jìwa mereka pergi setelah kematian badan kasar ini. Mereka hanya
perduli bahwa kehidupan yang sekali ini harus dimanfaatkan untuk meraih segala
cita-cita, kebahagiaan, kemakmuran, kenikmatan, kegembiraan dan lain sebagainya
semacam itu. Bahkan ada kelompok kepercayaan yang sama sekali tidak mengakui
adanya Tuhan sebagai pencipta semuanya ini, dengan asumsi bahwa keberadaan ini
muncul dengan sendirinya akibat penggabungan atom-atom dari berbagai jenis
materi yang akhirnya memunculkan adanya sang jìwa.
Bahkan mereka tidak mengakui
adanya unsur jìwani yang menjadi sifat sang jìwa itu sendiri. Semuanya ini
mereka nyatakan berdasarkan penyelidikan indra-indra kasar yang serba tidak
sempurna ini, sehingga mereka dengan lantang menyatakan bahwa keberadaan Tuhan
atau pun jìwa tak dapat dibuktikan sama sekali. Pembicaraan masalah Tuhan dan
jìwa merupakan pembicaraan kosong yang tak menghasilkan apa pun.
Mungkin dalam situasi tenang dan damai hal ini tidak begitu
menyita perhatian mereka; tetapi manakala bencana datang menerpa secara
bertubi-tubi; manakala penderitaan yang berkepanjangan sudah tak tertahankan
lagi, di mana segala usaha yang dilakukan tak membuahkan hasil sama sekali.
Pada saat itulah mereka mungkin akan teringat dengan sesuatu yang
menyebabkan mereka ada dan hidup di dunia sekarang ini; dan sesuatu
itu adalah Tuhan.
Dalam kepustakaan Weda,
pada bagian yang disebut vedànta, dinyatakan bahwa Tuhan itu
hanya satu tiada duanya dan meliputi segalanya. Alam semesta luas tak-terbatas
ini merupakan manifestasi kasar dari pada-Nya; sehingga makhluk hidup yang
merupakan bagian dari alam semesta tersebut juga merupakan manifestasi kasar
dari pada-Nya.
Menurut ilmu pengetahuan material, alam semesta dengan sejumlah
galaksi yang tak terhitung banyaknya dan pada setiap galaksi tersusun atas
milyaran planet beserta satelit dan meteor-meteornya, terbentuk secara evolusi
yang memerlukan waktu jutaan bahkan milyaran tahun manusia, bahkan hingga
sekarang ini masih ada planet-planet dan galaksi-galaksi baru yang masih dalam taraf
pembentukannya; sehingga untuk membayangkan hal ini saja pikiran pun tak mampu
untuk menjangkaunya.
Dari penyelidikan para ahli purbakala tentang adanya kehidupan di
bumi ini saja mereka hanya dapat memperkirakan berdasarkan bukti-bukti penemuan
mereka dalam bidang arkeologi untuk menentukan usia makhluk hidup pertama yang
mendiami bumi kita ini. Tetapi mereka tak pernah menyelidiki kesaling terkaitan
antara satu spesies dengan spesies lainnya secara ilmiah. Mereka hanya mencari rangkaian
hilang yang menghubungkan evolusi manusia purba dengan manusia modern
sekarang ini, sesuai dengan yang dinyatakan oleh ilmuwan Charles
Darwin.
Mereka sama sekali belum menyentuh evolusi sang jìwa yang
menjadikan sesosok makhluk itu memiliki kesadaran, emosi, kecerdasan dan lain
sebagainya. Bahkan dalam bidang kesadaran itu sendiri, para ilmuwan hanya
mengarahkan penyelidikannya pada wilayah kesadaran jaga, sedikit pada wilayah
mimpi dan sama sekali belum menyentuh kesadaran tidur lelap, apalagi sampai
menyentuh bidang kesadaran keempat.
Menurut pernyataan para ahli, perkembangan badan fisik dalam satu
jenis penjelmaan sebagai manusia, mulai masa kanak-kanak hingga masa tua,
mengalami pembaharuan sel setiap tujuh tahun sekali, sehingga dalam satu masa
kehidupan saja manusia telah mengalami perubahan badan fisik beberapa kali.
Para bijak jaman dahulu telah memberitahukan kepada kita bahwa
tujuan kehidupan sebagai manusia adalah untuk membebaskan diri dari siklus
penjelmaan kembali yang berulang-ulang, di mana sang jìwa menurut
identifikasinya dengan alam material telah mengenakan salah satu dari 8.400.000
wujud kehidupan dan berevolusi dari bentuk yang lebih rendah menuju bentuk yang
lebih tinggi sampai mengenakan wujud manusia.
Secara keseluruhan makhluk hidup terperangkap dalam peredaran
kelahiran dan kematian berulang-ulang, yang mengingatkan kita pada legenda
pahlawan Yunani Sisyphus, raja Corinth yang pernah berusaha
menipu para dewa, tetapi gagal dan dijatuhi hukuman yang membuatnya tak akan
pernah menang.
Hukumannya adalah mengulingkan batu besar menuju puncak bukit,
tetapi setiap kali batu itu sampai di puncak ia akan menggelinding jatuh, dan Sisyphus
harus mengulangi lagi tugasnya tanpa henti selama-lamanya. Demikian pula
dengan perjuangan makhluk hidup untuk melepaskan diri dari kehidupan dunia
materialnya yang membelenggu, membuatnya lupa dengan keberadaan sejatinya yang
penuh kebahagiaan dan penuh pengetahuan kecerdasan.
Weda
sendiri menyatakan, ahaý brahmàsmi - aku
adalah jìwa yang murni. Secara umum menyatakan bahwa aku adalah badan
yang bernyawa (memiliki jìwa); tetapi filsafat Weda
menyatakan, aku adalah jìwa yang memiliki badan jasmani. Bertitik tolak
dari pernyataan ini maka kita lebih cenderung mengakui bahwa kita adalah jìwa
yang mengenakan pembungkus badan material yang bersifat fana, sesuai dengan karma
masing-masing individu dalam peredaran kelahiran dan kematian
berulangkali.
Berbagai pandangan filsafat berusaha untuk menjelaskan keberadaan
jìwa tunggal yang meresapi (menyusupi) segala sesuatu yang ada di alam semesta
raya ini, sehingga akibat dari perlengkapan upàdhi (keterbatasan)
yang menyelimutinya, sang jìwa mengidentifikasikan diri-Nya dengan pembatas
tersebut. Karenanya, timbullah berbagai jenis keberadaan yang beraneka ragam
wujud dan namanya, dengan gradasi kecerdasan dan kesadaran yang beraneka ragam
pula.
Dalam rangka mencari identitas sejati dari sang jìwa itu
sendirilah maka terjadi evolusi transmigrasi yang membawanya berputar dari satu
kelahiran ke kelahiran lain, sampai kembali pada sumber utamanya. Dalam buku
ini diuraikan secara ringkas evolusi sang jìwa dalam petualangannya menikmati
kehidupan material dari tingkat keberadaan yang sangat sederhana hingga
pencapaian kesadaran sejatinya sebagai bagian integral dari segenap keberadaan
ini.
Posting terkait:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar