LIhat juga:kamus jawa sederhana
Melihat hal yang demikian
akhirnya Hyang Guru turun tangan, menyarankan agar secepatnya diadakan
perundingan. Dalam perundingan yang diadakan di kahyangan akhirnya diputuskan
hanya Tìrtha Amåta satu-satunya yang dapat meredakan perselisihan ini. Tìrtha
Amåta itu hanya ada di tengah-tengah samudra, untuk mendapatkannya harus
mengaduk samudra itu, untuk mengaduk samudra itu para Dewa dan Daitya
menggunakan gunung Mandara sebagai tonggaknya sedangkan yang dipakai
mengikatnya adalah naga Basuki. Untuk melaksanakan pekerjaan itu para Dewa
memegang ekornya sedangkan para Daitya memegang kepalanya. Dengan bersemangat
para Dewa dan Daitya memutar gunung Mandara sehingga air meluap hampir saja gunung
Mandara tenggelam. Melihat kejadian itu maka Dewa Wiûóu segera merubah dirinya menjadi
kura-kura besar dan turun menjadi penyangga gunung Mandara. Akibat perputaran
itu keluarlah asap biru yang mengandung racun sehingga di kedua belah pihak
banyak yang mati, melihat hal itu Dewa Úiwa akhirnya mengisap asap beracun itu
dan Dewa maupun Daitya yang meninggal menjadi hidup kembali. Akibat racun yang
dihisap dewa Úiwa maka leher beliau menjadi biru. Itulah sebabnya beliau
disebut dengan “Nìlakaóþha” (leher biru).
Setelah kembali normal,
para Dewa dan Daitya melanjutkan pekerjaannya. Kemudian secara perlahan
Dhanwantari muncul membawa cupu yang berisi Tìrtha Amåta. Tìrtha itu dibagi dua
setengah diberikan kepada para Dewa, setengahnya lagi diberikan pada Para
Daitya.
Di sorga loka para dewa
bersidang, mereka gelisah karena tahu khasiat amåta itu jikalau sampai jatuh ke
tangan para Daitya. Sehingga tugas para dewa menjadi tambah berat. Akhirnya
diputuskan untuk mengambil Tìrtha Amåta. Tugas ini dilaksanakan oleh Dewa
Wiûóu.
Pada saat Raja Jamba akan membagikan Tìrtha Amåta itu kepada
para Daitya, Datanglah seorang dewi yang sangat cantik, karena Raja Jamba
terpesona akan kecantikan dewi itu maka Dewi itu dimohon bantuannya untuk
membagikan Tìrtha Amåta tersebut kepada para Daitya, dewi itu menerima cupu
yang berisi Tìrtha Amåta, setelah Tìrtha itu berada di tangannya kemudian dewi
itu menghilang. Para Daitya sangat terkejut melihat kejadian itu, dia baru
sadar bahwa semuanya itu adalah tipu muslihat para dewa. Kejadian itu dilihat
oleh Ràhu, salah satu Daitya kemudian mengejarnya. Sampai di Sorgaloka ia
melihat para dewa membagikan Tìrtha Amåta, akhirnya Ràhu merubah dirinya
menjadi salah satu dewa. Dan ikut dalam pembagian Tìrtha Amåta itu, saat minum
Tìrtha tersebut dilihat oleh Dewa Wiûóu dan dengan cepat Dewa Wiûóu menyambar
tubuh Ràhu sampai tiba di awan Ràhu merubah wujudnya menjadi wujud semula. Dewa
Wiûóu secepat kilat menebas lehernya, badannya hancur, namun kepalanya tetap,
itu bisa terjadi karena ia sudah minum Tìrtha Amåta, namun belum sampai masuk
ke dalam tubuhnya, darah yang bercampur Tìrtha Amåta yang jatuh di daun
alang-alang kemudian dijilat oleh segerombolan ular, itulah sebabnya lidah ular
terbelah karena kena daun alang-alang. Kepala Ràhu yang tidak hancur melayang-layang
di angkasa mencari Dewa Bulan dan Dewa Matahari. Karena menurut dia rencana dan
keinginan Ràhu mendapat Tìrtha Amåta menjadi Gagal, dengan melebarkan mulutnya
menelan bulan, karena tak punya tubuh akhirnya bulan keluar lagi, demikian pula
halnya dengan matahari, kejadian itu sering disebut Gerhana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar